Rabu, 16 Juni 2010

Teaching How to Be a Boy Through Bobo Magazine

       MENURUT Foucault, identitas bukan berasal dari karakteristik genetis bawaan sejak lahir, melainkan dibentuk lewat bahasa (language). Bahasa inilah yang memunculkan discursive formation yang berpengaruh pada pembentukan identitas.
       Discursive formation sendiri merupakan suatu kondisi di mana terdapat beragam wacana seiring dengan pembentukan identitas subjek. Discursive formation ini sifatnya labil. Sebab, perubahan pengetahuan pada masyarakat (landscape of knowledge) menyebabkan discursive formation juga berubah. Sehingga, setiap discursive formation yang muncul memiliki ciri khas tersendiri dan bersifat tidak kontinyu.
       Identitas sosok Bobo, menurut pandangan Foucault, dipengaruhi wacana-wacana yang berkembang pada masyarakat modern sebagai aplikasi discursive formation-nya. Pada masyarakat modern, hubungan antara orang tua dan anak tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang “kaku”. Anak tidak selalu diposisikan “di bawah” orang tua, tetapi mulai muncul kesetaraan di antara mereka. Konsep-konsep kesetaraan tersebut nyata terlihat pada keluarga di masyarakat Barat.
       Mayoritas tipe komunikasi keluarga Barat menganggap bahwa anak memiliki hak untuk berpendapat, bertanya, hingga menasehati orang tua. Hal itu menunjukkan bahwa anak di keluarga Barat itu diposisikan setara dengan orang tuanya, dalam hal apapun termasuk saling memberikan masukan bagi masing-masing anggota keluarga. Sekarang, masyarakat Timur sudah mulai mengadopsi paham-paham tersebut. Mereka juga menganggap bahwa anak berperan penting dalam tumbuh kembang suatu keluarga tersebut (Okvina, 2009).
       Konsep kesetaraan dalam komunikasi keluarga antara orang tua dan anak tampak pada dialog-dialog yang muncul antara Bobo dengan Bapak pada rubrik Cerita Bergambar (CerGam) berjudul Sepeda Gembira.
Dialog 1: Bapak mengeluarkan sepeda lipat dan mengelapnya. Hari ini, Bapak mau ikut sepeda gembira. “Sepedanya jangan sampai tertinggal, ya, Pak!” pesan Bobo (sambil memasukkan tangan kiri ke saku celana dan mengarahkan jari telunjuk pada Bapak)
Pada dialog tersebut, terlihat bahwa Bobo digambarkan sebagai anak yang mampu menasehati orang tuanya. Selain melalui ucapan, gesture yang menunjukkan kesan ‘menasehati’ tersebut tampak pada tangan yang dimasukkan ke saku kiri dan mengarahkan jari telunjuk pada ayahnya.
Dialog 2: “Aku tidak melupakan sepedaku, kan, Bo?” pamer Bapak. “Lalu, di mana Cimut?” tanya Bobo (berdiri sambil mengarahkan jari telunjuk pada Bapak). Astaga, Bapak malah melupakan Cimut!.
Tidak jauh berbeda dengan dialog pertama, pada dialog ini pun Bobo ditampilkan ‘setara’ dengan Bapak. Hal ini ditunjukkan melalui cara Bobo yang bertanya pada sang ayah dengan lagi-lagi mengarahkan jari telunjuk pada ayahnya.

Bobosiana - Selidiki Dulu
       Adakah di antara teman-teman yang ingin menjadi seorang detektif seperti Paman Dick Selidik? Hmmm, keren, ya! Pamanku itu pandai sekali memecahkan misteri. Dia harus melakukan berbagai penyelidikan lebih dulu, untuk menjawab sebuah misteri. Penyelidikan ini butuh waktu dan tenaga, karena para detektif melakukannya dengan sangat hati-hati dan teliti. Paman Dick Selidik selalu melakukan check and recheck.
       Eh, kita pun bisa melatih diri menjadi detektif, lo! Misalnya, saat kita mendapatkan informasi yang kurang masuk akal. Kita bisa menyelidikinya dengan cara mencari tahu dari siapa informasi itu berasal. Kalau sudah ketemu, tanyakan langsung apakah informasi itu benar. Kalau orang itu bilang,”katanya”....dan tidak jelas “nya” nya siapa, hehe..lebih baik kita tidak usah percaya pada informasi seperti itu.
       Kata-kata yang ditulis dalam rubrik Bobosiana ini oleh penulis dikesankan bahwa pesan-pesan tersebut merupakan kata-kata yang berasal dari Bobo. Hal ini terlihat dari kata “teman-teman” di mana sebagian besar pembaca majalah Bobo adalah anak-anak. Selain itu, pada rubrik Bobosiana juga terdapat kata “pamanku” yang merujuk pada Paman Dick Selidik sebagai paman Bobo. Di sini, Bobo digambarkan seolah-olah berperan layaknya orang dewasa. Dia memiliki banyak pengetahuan. Dia juga memberikan saran-saran kepada pembaca Majalah Bobo dan terkesan ‘menggurui’ para pembacanya dengan nasehat-nasehat yang tertulis di dalam rubrik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa identitas Bobo digambarkan sebagai sosok yang dewasa dan sangat berhati-hati. Dia bahkan sering memberikan saran ataupun nasehat kepada teman-temannya.
          Identitas Bobo juga ditampilkan sebagai sosok yang maskulin. Sebab, simbol-simbol yang melekat pada dirinya disepakati bersama oleh masyarakat sebagai simbol maskulinitas. Memakai topi pet terbalik, kaos merah tua, celana panjang berwarna biru, serta sepatu kets biru. Menariknya, Bobo bukanlah satu-satunya sosok laki-laki dalam keluarganya. Ada Bapak, Paman Gembul, Tut Tut, Dung Dung, Kutu Buku, dan Simpul. Namun, semuanya digambarkan memiliki tubuh berwarna kuning. Hanya Bobo yang bertubuh biru. Pada masyarakat moderen, warna biru identik dengan sifat maskulin seorang laki-laki (Steve Connor, 2007). Biasanya, karakteristik maskulinitas diidentikkan dengan kekerasan, gagah, jantan, dan kuat sehingga bertanggung jawab dalam memimpin, berpolitik dan berurusan dengan ranah publik lainnya. Pada majalah Bobo, maskulinitas Bobo ini tampak aktivitas yang dilakukannya, yaitu bermain bola, berprofesi sebagai detektif, wartawan, dan fotografer. Aktivitas Bobo di ranah domestik, sementara itu, bisa dihitung dengan jari seperti belajar kelompok di rumah bersama teman-temannya. Namun, Bobo pun masih digambarkan sebagai sosok yang paling dominan dibandingkan teman-temannya. Hal ini digambarkan dengan ilustrasi yang menunjukkan seluruh pandangan peserta diskusi yang mengarah kepadanya.(int)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar